Kisah nyata doket binal cantik – Para pembaca cerita seks
sekalian, terserah anda percaya atau tidak, tetapi kisah ini
benar-benar terjadi. Waktu itu kalau tidak salah sekitar akhir tahun
1996 yang lalu, saat saya diharuskan melakukan medical check-up di
sebuah klinik kesehatan di Jakarta, guna memenuhi persyaratan agar
diterima bekerja di sebuah perusahaan yang termasuk grup perusahaan
milik konglomerat terkemuka Indonesia.
Sebenarnya saya
malas melakukan medical check-up. Pasti lagi-lagi cuma cek darah,
air seni, dan kotoran saja. Kemudian diperiksa oleh dokter memakai
stetoskop untuk menyakinkan bahwa saya terkena penyakit atau tidak. Itu
saja menurut saya, tidak ada yang lain. Dokter yang akan memeriksa
saya paling-paling juga dokter cowok, mana sudah tua lagi.
Dengan
sekali-sekali menguap karena jenuh, sudah hampir setengah jam saya
menunggu dokter yang tak kunjung datang. Padahal saya sudah melalui
proses medical check-up yang pertama, yaitu pemeriksaan darah, air seni,
dan kotoran. Beberapa kali saya menanyakan pada orang di loket
pendaftaran dan selalu memperoleh jawaban sama, yaitu agar saya sabar
sebab dokternya dalam perjalanan dan mungkin sedang terjebak macet. Saya
melihat arloji di tangan saya. Akhirnya saya memutuskan bahwa kalau
dokternya tidak juga datang limabelas menit lagi, maka saya akan pulang
saja ke rumah.
Dengan menarik
nafas, kesal, saya memandangi sekeliling saya. Tahu-tahu mata saya
tertumbuk pada seorang wanita yang baru saja masuk ke dalam klinik
tersebut. Amboi, cantik juga dia. Saya taksir usianya sekitar 35-an.
Tetapi alamak, tubuhnya seperti cewek baru duapuluhan. Kencang dan
padat. Payudaranya yang membusung cukup besar itu tampak semakin
menonjol di balik kaus oblong ketat yang ia kenakan. Gumpalan pantatnya
di balik celana jeansnya yang juga ketat, teramat membangkitkan
selera. Batinku, coba dokternya dia ya. Tidak apa-apa deh kalau harus
diperiksa berjam-jam olehnya. Akan tetapi karena rasa bosan yang sudah
menjadi-jadi, saya tidak memperhatikan wanita itu lagi. Saya kembali
tenggelam dalam lamunan yang tak tentu arahnya.
“Mas, silakan
masuk. Itu dokternya sudah datang.” Petugas di loket pendaftaran
membuyarkan lamunan saya. Saat itu saya sudah hendak memutuskan untuk
pulang ke rumah, mengingat waktu sudah berlalu limabelas menit. Dengan
malas-malasan saya bangkit dari bangku dan berjalan masuk ke ruang
periksa dokter.
“Selamat malam,”
suara lembut menyapa saat saya membuka pintu ruang periksa dan masuk ke
dalam. Saya menoleh ke arah suara yang amat menyejukkan hati itu. Saya
terpana, ternyata dokter yang akan memeriksa saya adalah wanita cantik
yang tadi sempat saya perhatikan sejenak. Seketika itu juga saya
menjadi bersemangat kembali.
“Selamat malam, Dok,” sahut saya. Ia tersenyum. Aah, luluhlah hati saya karena senyumannya ini yang semakin membuatnya cantik.
“Oke, sekarang coba kamu buka kaus kamu dan berbaring di sana,” kata
sang dokter sambil menunjuk ke arah tempat tidur yang ada di sudut ruang
periksa tersebut.
Saya pun
menurut. Setelah menanggalkan kaus oblong, saya membaringkan diri di
tempat tidur. Dokter yang ternyata bernama Dokter Santi itu menghampiri
saya dengan berkalungkan stetoskop di lehernya yang jenjang dan putih.
“Kamu pernah menderita penyakit berat? Tipus? Lever atau yang lainnya?” Saya menggeleng.
“Sekarang coba
kamu tarik nafas lalu hembuskan, begitu berulang-ulang ya.” Dengan
stetoskopnya, Dokter Santi memeriksa tubuh saya. Saat stetoskopnya yang
dingin itu menyentuh dada saya, seketika itu juga suatu aliran aneh
menjalar di tubuh saya. Tanpa saya sadari, saya rasakan, batang kontol
saya mulai menegang. Saya menjadi gugup, takut kalau Dokter Santi tahu.
Tapi untuk ia tidak memperhatikan gerakan di balik celana saya. Namun
setiap sentuhan stetoskopnya, apalagi setelah tangannya menekan-nekan
ulu hati saya untuk memeriksa apakah bagian tersebut terasa sakit atau
tidak, semakin membuat batang kontol saya bertambah tegak lagi,
sehingga cukup menonjol di balik celana panjang saya.
“Wah, kenapa
kamu ini? Kok itu kamu berdiri? Terangsang saya ya?” Mati deh! Ternyata
Dokter Santi mengetahui apa yang terjadi di selangkangan saya. Aduh! Muka
ini rasanya mau ditaruh di mana. Malu sekali!
“Nah, coba kamu
lepas celana panjang dan celana dalam kamu. Saya mau periksa kamu
menderita hernia atau tidak.” Nah lho! Kok jadi begini?! Tapi saya
menurut saja. Saya tanggalkan seluruh celana saya, sehingga saya
telanjang bulat di depan Dokter Santi yang bak bidadari itu.
Gila! Dokter Santi
tertawa melihat batang kemaluan saya yang mengeras itu. Batang kontl
saya itu memang tidak terlalu panjang dan besar, malah termasuk
berukuran kecil. Tetapi jika sudah menegang seperti saat itu, menjadi
cukup menonjol.
“Uh, burung kamu
biar kecil tapi bisa tegang juga,” kata Dokter Santi serasa mengelus batang kontol saya dengan tangannya yang halus. Muka saya menjadi bersemu
merah dibuatnya, sementara tanpa dapat dicegah lagi, batang kemaluan
saya semakin bertambah tegak tersentuh tangan Dokter Santi.
Dokter Santi masih mengelus-elus dan mengusap-usap batang kontol saya itu
dari pangkal hingga ujung, juga meremas-remas buah zakar saya.
“Mmm… Kamu
pernah bermain?” Saya menggeleng. Jangankan pernah bermain. Baru kali
ini saya telanjang di depan seorang wanita! Mana cantik dan molek lagi!
“Aahhh…..” Saya
mendesah ketika mulut Dokter Santi mulai mengulum batang kontol saya.
Lalu dengan lidahnya yang kelihatannya sudah mahir digelitiknya ujung
kemaluan saya itu, membuat saya menggerinjal-gerinjal. Seluruh batang
kemaluan saya sudah hampir masuk ke dalam mulut Dokter Santi yang cantik
itu. Dengan bertubi-tubi disedot-sedotnya batang kontol saya. Terasa
geli dan nikmat sekali. Baru kali ini saya merasakan kenikmatan yang
tak tertandingi seperti ini.
Dokter Santi segera
melanjutkan permainannya. Ia memasukkan dan mengeluarkan kontol saya dari dalam mulutnya berulang-ulang. Gesekan-gesekan
antara kontol saya dengan dinding mulutnya yang basah
membangkitkan kenikmatan tersendiri bagi saya.
“Auuh…..
Aaaahhhh…..” Akhirnya saya sudah tidak tahan lagi. Kontol saya
menyemprotkan cairan kental berwarna putih ke dalam mulut Dokter Sabnti.
Bagai kehausan, Dokter S meneguk semua cairan kental tersebut sampai
habis.
“Duh, masa baru begitu saja kamu udah keluar.” Dokter Santi meledek saya yang baru bermain oral saja sudah mencapai klimaks.
“Dok… Saya… baru pertama kali… melakukan ini….” jawab saya terengah-engah.
Dokter Santi tidak
menjawab. Ia mencopot jas dokternya dan menyampirkannya di gantungan
baju di dekat pintu. Kemudian ia menanggalkan kaus oblong yang
dikenakannya, juga celana jeans-nya. Mata saya melotot memandangi
payudara montoknya yang tampaknya seperti sudah tidak sabar ingin
mencelat keluar dari balik bh-nya yang halus. Mata saya serasa mau
meloncat keluar sewaktu Dokter Santi mencopot bh-nya dan memelorotkan celana
dalamnya. Astaga! Baru sekarang saya pernah melihat payudara sebesar itu. Sungguh besar namun terpelihara dan kencang. Tidak ada tanda-tanda
kendor atau lipatan-lipatan lemak di tubuhnya. Demikian pula
pantatnya. Masih menggumpal bulat yang montok dan kenyal.
Benar-benar tubuh paling sempurna yang pernah saya lihat selama hidup
saya. Saya rasakan kontol saya mulai bangkit kembali
menyaksikan pemandangan yang teramat indah ini.
Dokter Santi kembali
menghampiri saya. Ia menyodorkan payudaranya yang menggantung kenyal ke
wajah saya. Tanpa mau membuang waktu, saya langsung menerima
pemberiannya. Mulut saja langsung menyergap payudara nan indah ini.
Sambil menyedot-nyedot puting susunya yang amat tinggi itu, mengingatkan saya waktu saya menyusu pada ibu saya selagi kecil. Dokter Santi
adalah wanita yang kedua yang pernah saya isap-isap payudaranya, tentu
saja setelah ibu saya saat saya masih kecil.
“Uuuhhh…..
Aaah…..” Dokter Santi mendesah-desah tatkala lidah saya menjilat-jilati
ujung puting susunya yang begitu tinggi menantang. Saya permainkan
puting susu yang memang amat menggiurkan ini dengan bebasnya.
Sekali-sekali saya gigit puting susunya itu. Tidak cukup keras memang,
namun cukup membuat Dokter Santi menggelinjang sambil meringis-ringis.
Tak lama
kemudian, kontol saya sudah siap tempur kembali. Saya menarik
tangan Dokter Santi agar ikut naik ke atas tempat tidur. Dokter S memahami
apa maksud saya. Ia langsung naik ke atas tubuh saya yang masih
berbaring tertelentang di tempat tidur. Perlahan-lahan dengan tubuh
sedikit menunduk ia mengarahkan kontol saya ke tempeknya yang
sekelilingnya ditumbuhi bulu-bulu lebat kehitaman. Lalu dengan cukup
keras, setelah kontol saya masuk satu sentimeter ke dalam tempeknya, ia menurunkan pantatnya, membuat kontol saya hampir
tertelan seluruhnya di dalam tempeknya. Saya melenguh keras dan
menggerinjal-gerinjal cukup kencang waktu ujung kontol saya
menyentuh pangkal tempek Dokter Santi. Menyadari bahwa saya mulai
terangsang, Dokter Santi menambah kualitas permainannya. Ia
menggerak-gerakkan pantatnya berputar-putar ke kiri ke kanan dan naik
turun ke atas ke bawah. Begitu seterusnya berulang-ulang dengan tempo
yang semakin lama semakin tinggi. Membuat tubuh saya menjadi meregang
merasakan nikmat yang bukan main.
Saya merasa sudah
hampir tidak tahan lagi. Konol saya sudah nyaris
menyemprotkan cairan kenikmatan lagi. Namun saya mencoba menahannya
sekuat tenaga dan mencoba mengimbangi permainan Dokter S yang liar itu.
Akhirnya…..
“Aaaahh…..”
“Ouuhhhh…..”
Saya dan Dokter Santi sama-sama menjerit keras. Kami berdua mencapai klimaks
hampir bersamaan. Saya menyemprotkan pejuh saya di dalam tempek
Dokter Santi yang masih berdenyut-denyut menjepit kontol saya.
Demikianlah
peristiwa yang terjadi malam itu. Dan mau tahu apa hasil medical
check-up yang istimewa tersebut? Saya dinyatakan sehat secara fisik dan
tentu saja secara mental. Apalagi secara birahi. Tentu para pembaca
semua tahu maksud saya ini. Dan akhirnya saya berhasil diterima di
perusahaan besar itu yang merupakan impian saya sejak lama. Sayangnya,
permainan saya yang menggebu-gebu tersebut dengan Dokter S merupakan
pengalaman saya yang pertama sekaligus yang terakhir. Ia sepertinya
menghindar apabila saya sengaja datang ke tempat praktek dokternya.
Dengan alasan sibuk atau sejuta alasan lainnya, Dokter S selalu menolak
menemui saya. Saya tidak tahu mengapa ia bersikap seperti itu. Ah, biar
saja!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar