Beberapa minggu setelah kejadian pertama dengan Basuki, aku telah
berpikir. Aku rasa anakku yang kedua, Banu, juga harus mendapatkan jatah
seperti kedua saudaranya. Tidak adil rasanya jika dia tidak
mendapatkannya. Lagipula, semua yang aku lakukan sudah telanjur jauh.
Mengapa tidak aku teruskan saja. Hanya saja aku belum mendapatkan cara
yang tepat untuk meminta anakku Banu. Mungkin aku sudah terkena penyakit
kelainan sex karena aku sangat menikmati hubunganku dengan anak-anakku
sendiri. Tapi biarlah, daripada harus
menjajakan diri, aku pikir lebih baik begitu. Kesempatan untuk
bersetubuh dengan Banu akhirnya datang ketika kedua Saudaranya sedang
tidak ada di rumah.
Bari sedang ke rumah temannya, sedangkan Basuki pergi ke kota lain
selama beberapa hari. Jadi otomatis aku tidak mendapatkan kepuasan
selama beberapa hari itu, karena aku tidak disentuh oleh kedua anakku
yang telah menjadi pemuas nafsuku. Aku tidak mampu lagi menahan nafsuku
untuk bersetubuh, dan aku tidak mau bersetubuh dengan orang lain yang
tidak aku kenal. Aku bingung. Sampai ketika aku sedang duduk di ruang
tengah aku melihat Banu yang baru saja selesai mandi dan keluar dari
kamar mandi dengan hanya mengenakan celana pendek. Aku terkesiap.
Ternyata tubuh Banu tidak jauh berbeda dengan kedua saudaranya. Atletis
dan juga mengagumkan. Hasratku yang sudah sampai ke ubun-ubun
menggelapkan nuraniku. Aku berpikir, biarlah sekalian aku nikmati tubuh
semua anak-anakku. Tanpa pikir panjang, aku panggil Banu.
“Banu, kemari sebentar Nak,” panggilku. Banu menoleh ke arahku dan berjalan menghampiriku.
“Ada apa Ma? Banu baru mandi nih. Mau pake baju dulu,” kata Banu sambil menghampiriku.
“Tidak usah pakai baju Nak. Kemari sebentar. Mama mau bicara dengan kamu.” Kataku meyakinkan Banu.
“Tapi Ma, Banu kedinginan. Banu mau pakai baju dulu,” jawab Banu ngotot.
“Udah, nggak usah membantah Mama,” kataku sambil berdiri dan menarik tangan Banu untuk mendekat.
“Duduk di samping Mama,” kataku lagi.
Banu pun akhirnya menurut dan duduk di sampingku. Aku pandangi tubuh
setengah telanjang yang duduk di sampingku. Sempurna. Itulah yang ada di
benakku saat ini.
“Boleh Mama tanya Nak?” tanyaku kepada Banu.
“Ya tentu saja boleh Ma, emang ada apa sih?” Banu balik bertanya kepadaku sambil matanya memandangku penuh selidik.
“Kamu udah punya pacar Nak?” tanyaku basa basi.
“Ya belum donk Ma, emang kenapa sih Mama tanya itu?” jawab Banu.
“Jadi kamu belum pernah ciuman donk?” tanyaku memancing.
Banu kelihatan keheranan dengan pertanyaanku tadi. Dia hanya diam beberapa saat.
“Ya belum pernah donk. Kok Mama tanya begitu sih? Ada apa?” tanya Banu keheranan.
“Nggak kok. Kalau memang belum pernah, Mama cuman ingin mengajari kamu ciuman. Itu pun kalau kamu mau?” jawabku ngawur.
“Mama serius? Mama nggak sedang bercanda kan?” tanya Banu lagi dengan nada tidak percaya.
Aku hanya menganggukkan kepala, lalu mendekatkan tubuhku kepadanya.
Kepala kami begitu dekat sehingga aku bisa merasakan hembusan nafasnya.
Aku dekatkan bibirku ke bibirnya. Lalu aku tempelkan bibirku. Banu hanya
diam saja dan tidak bereaksi. Aku mencoba lebih aktif lagi. Aku dekap
tubuhnya, sehingga tubuh kami bersatu.
“Kalau ciuman, bibirnya dibuka sedikit donk Nak,” pintaku karena bibir Banu hanya tertutup rapat.
Aku cium lagi bibirnya, dia membuka bibirnya sedikit sehingga aku
mencoba memasukkan lidahku ke mulutnya. Lidahku dan lidahnya beradu di
dalam mulutnya. Terkadang aku sedot mulutnya untuk mendapatkan sedikit
air ludahnya. Lalu aku telan air ludahnya yang terasa nikmat. Setelah
sekitar 15 menit kami berciuman dengan mesranya, aku lepaskan dekapanku
pada tubuhnya. Banu seperti tidak rela untuk melepaskan diriku.
“Bagaimana Nak? Kamu suka?” tanyaku.
“Enak sekali Ma. Boleh lagi? Banu masih pengen nih.” Kata Banu sambil terengah-engah.
“Boleh saja Nak. Bahkan lebih juga boleh kok.” kataku lagi.
Aku berdiri di hadapannya. Lalu aku perlahan-lahan menurunkan
resleting dasterku. Aku turunkan dasterku dan aku buang ke samping sofa.
Sekarang aku hanya menggunakan BH dan celana dalam saja. Aku lihat Banu
terkesiap dan menelan ludah melihat pemandangan yang indah di depannya.
Aku melangkah mendekat ke arahnya. Aku dekatkan wajahku. Kami pun
berciuman kembali. Kali ini Banu sudah lebih mahir. Dia memasukkan
lidahnya ke dalam mulutku. Lidah kami bertautan seperti dua ekor ular
yang sedang bertarung.
Hanya suara desahan kami berdua yang memenuhi ruangan itu. Aku pegang
tangan kanannya dan aku arahkan ke susuku yang masih terbalut oleh
bra. Secara alami tangan Banu mulai meremas-remas payudaraku dari luar
bra. Aku semakin terangsang saat tangannya meremas susuku. Tangan
kiriku mengusap-usap bagian luar celananya.
“Buka BH Mama, sayang.. Ohh,” pintaku sambil mendesah.
Tanpa diminta dua kali, tangan Banu dengan cekatan membuka kaitan
BH-ku. Kini di depan wajahnya terpampang dua buah bukit kembar yang
sangat ranum dan menggairahkan.
“Ma, susu Mama gede sekali, ukuran berapa sih Ma?” tanya Banu takjub melihat besarnya payudaraku.
“38B sayang, gede kan? Kamu suka sayang?” jawabku penuh nada kebanggaan pada propertiku yang satu ini.
“Pegang susu Mama sayang,” pintaku sambil mendekapkan tangannya ke payudaraku.
Mungkin ini yang disebut dengan nafsu alami. Secara otomatis
tangannya mulai meremas-remas susuku. Aku hanya bisa mendesah-desah
tak karuan mendapatkan perlakuan seperti itu. Tak hanya meremas-remas,
sepuluh menit kemudian Banu secara naluriah mulai mengecup dan menjilati
kedua gunung kembar yang ada di depannya.
“Ahh.. Enaak.. Sayang.. Teruuss.. Emmpphh..” aku meracau tak karuan mendapat perlakuan seperti itu.
Kini hanya sehelai celana dalam yang melekat di tubuh kami. Tak
sabar, aku menjauhkan kepala Banu dari kedua gunung kembarku. Aku suruh
Banu untuk duduk di sofa. Peluh membasahi tubuh kami berdua meskipun
permainan baru saja di mulai. Aku berjongkok di antara kedua belah
pahanya yang terbuka. Aku pandangi tonjolan besar yang berada dalam
penjara yang disebut celana dalam. Aku usap-usap bagian luar celana
Banu. Banu menggelinjang mendapat perlakuan seperti itu. Perlahan aku
pegang pinggiran celana dalam Banu dan aku berusaha untuk melepaskan
celana dalam itu dari tubuhnya.
Sebuah pemandangan yang sangat indah bagiku terpampang begitu saja
ketika celana dalam itu sudah lepas dari tubuhnya. Kini Banu sudah
telanjang bulat. Kontol yang sangat besar, dengan panjang sekitar 18 cm
dan diameter yang cukup besar membuat diriku menelan ludah. Aku pegang
kontol Banu dengan tangan kananku. Aku elus-elus kontol itu pelan-pelan.
Banu hanya mendesah saja mendapatkan perlakuan itu. Aku dekatkan
wajahku ke kontol Banu. Aku ciumi ujung kontol yang merekah itu, lalu
aku jilati kontol itu. Banu semakin tidak karuan mendapat perlakuan yang
semakin merangsang itu. Lima menit kemudian, aku masukkan kontol Banu
ke dalam mulutku dan aku oral kontol Banu.
“Ohh.. Enaakk Maa.. Teruus..” Banu mendesah.
Aku memasukkan kontol Banu ke dalam mulutku dan juga secara
bergantian mengocok kontolnya dengan tangan kananku sambil menjilati
buah pelirnya. Setelah itu aku masukkan lagi kontol Banu ke dalam
mulutku lalu aku memaju mundurkan mulutku sedangkan tanganku bekerja
meremas-remas kedua pelirnya dengan lembut.
“Enaakk.. Ma.. Kontooll.. enaakk.. Teruss..”
Kata-kata semacam itu terus-menerus keluar dari mulut Banu. Sekitar
sepuluh menit kemudian Banu memegang bagian belakang kepalaku
seakan-akan tidak mau melepaskan hisapan mulutku dari kontolnya.
“Buu.. Mauu.. Ke.. Lu. Aar.. Ceepaat..” teriak Banu.
Aku semakin mempercepat kocokan mulutku di kontolnya. Tidak lama
kemudian aku merasakan adanya denyutan-denyutan yang menandakan kalau
Banu akan mencapai puncak.
“Keluarkaan sayang, keluarkan di mulut Mama,” kataku di antara desahan
nafasku dan nafasnya dan di antara kesibukanku mengoral kontolnya.
Creet.. Croot.. Creet.., mungkin sebanyak sembilan atau sepuluh
semprotan pejuh Banu memenuhi rongga mulutku. Hampir saja mulutku tidak
dapat menampung banyaknya semprotan pejuh Banu yang sangat banyak itu.
Wangi dan gurih, itulah yang aku rasakan. Mungkin dikarenakan Banu
masihlah perjaka (atau tidak??). Banu duduk telentang dan bersandar di
sandaran sofa dengan nafas yang terengah-engah seperti baru berlarian.
Tapi, dia memang baru saja ‘berlarian’ mengejar nafsunya bukan? Aku lalu
duduk di sampingnya. Aku biarkan dia istirahat dulu, aku tidak ingin
terburu-buru meskipun nafsuku sudah sampai ke ubun-ubun. Ini adalah yang
pertama baginya. Aku ingin kepuasan untuk kami bedua.
“Kamu capek Nak? Pejumu tadi benar-benar lezat Nak. Mama sangat
menikmatinya”, sanjungku tentang spermanya yang aku telan tadi. Banu
hanya tersenyum saja mendengar sanjunganku.
Setelah aku melihat Banu sudah mulai tenang, aku dekatkan wajahku ke
wajahnya. Seperti sudah mengerti yang aku maksud, Banu juga mendekatkan
wajahnya ke wajahku. Mulut kami bersatu dan kami berciuman. Aku buka
sedikit mulutku, bagitu juga Banu. Lidahnya mulai masuk ke dalam mulutku
dan menyapu seluruh rongga mulutku. Kedua lidah kami beradu, saling
membelit dan saling menjilat. Aku dekap tubuhnya erat sedangkan Banu
memegang bagian belakang kepalaku. Aku rasakan kedua susuku
bersentuhan dengan dada bidang milik Banu. Banu berusaha menidurkan aku
di sofa sambil kedua tangannya bergerilya di seluruh tubuhku. Sekarang
aku telentang di sofa dan Banu berada di atas menindihku.
“Ludahi Mama, Nak. Mama haus. Ludahi Mama,” pintaku kepada Banu untuk memberikan air ludahnya kepadaku.
Banu menjauhkan sedikit mulutnya dari mulutku. Mulut Banu
mengecap-kecap, berusaha mengumpulkan air ludah sebanyak-banyaknya.
Setelah dirasa cukup banyak, Banu mendekatkan mulutnya kembali ke
mulutku. Aku membuka mulutku seperti ikan yang megap-megap kekurangan
air. Perlahan Banu membuka mulutnya. Aku dapat melihat air ludah yang
mengucur keluar dari mulut Banu. Aku dekatkan mulutku dan aku satukan
mulutku dengan mulut Banu. Aku tampung semua air ludah yang dikeluarkan
oleh Banu. Aku katupkan mulutku lalu aku kecap-kecap sebentar kumpulan
air ludah Banu yang berada di mulutku lalu aku menelannya. Aku dekap
kepalanya lalu kami berciuman kembali. Aku rasakan di bawah, kontolnya
kembali menegang. Sesaat kemudian, aku lepaskan dekapanku lalu aku
dorong tubuh Banu ke bawah.
“Buka celana dalam Mama Nak. Ayo lakukan,” aku meminta Banu untuk membuka celana dalamku.
Banu mendekatkan kedua tangannya ke pahaku lalu menarik celana
dalamku ke bawah. Aku mengangkat pantatku sedikit untuk memudahkan
dirinya menelanjangiku. Tak sampai hitungan menit, celana dalamku sudah
lepas dari tubuhku. Kini kami berdua sudah dalam keadaan telanjang
bulat. Sekarang Banu benar-benar terpana melihat pemandangan paling
indah yang tidak pernah dilihat atau bahkan diimpikan sepanjang
hidupnya. Di hadapannya, sebuah tempek yang bersih karena tidak ada
bulu-bulunya terpampang jelas di depan matanya. Aku melihat
keragu-raguan di matanya. Seperti seorang guru yang sedang mengajari
muridnya, aku dekatkan kepala Banu ke vaginaku.
“Jangan bengong aja Nak. Cium tempek Mama, jilat tempek Mama. Lakukan apa saja Nak,” aku menyuruh Banu untuk melakukan aksinya.
Tak lama, Banu mendekatkan kepalanya ke vaginaku dan mulai menciumi
permukaan tempekku. Aku mendesah pelan. Lima menit setelah puas menciumi
seluruh permukaan tempekku, Banu mengeluarkan lidahnya dan mulai
menjilati tempekku. Aku merasakan permukaan yang kenyal dan basah yang
menyentuh tempekku. Perasaanku semakin tidak karuan saja. Tangan kananku
berusaha membantu. Dengan dua jari aku berusaha membuka tempekku
sehingga sekarang tidak hanya permukaanya saja yang tersapu oleh lidah
Banu, tetapi lidah Banu juga mulai masuk ke dalam tempekku. Banu bahkan
bisa menggigit-gigit kecil.
Nafasku semakin tidak beraturan. Tanpa diperintah, Banu memasukkan
dua jari tangan kanannya ke tempekku. Aku semakin tidak karuan saja. Dia
mengocok-ngocok temepkku sambil tetap menjilatinya. Pantatku
bergoyang-goyang tidak karuan. Tidak puas hanya menjilati temepekku saja,
saat pantatku terangkat Banu juga menjilati lubang pantatku. Aku
sebenarnya ingin melarangnya karena itu menjijikkan tetapi aku tidak
sanggup karena nafsu sudah menguasaiku. Tidak sampai lima belas menit
kemudian aku merasakan ada dorongan kuat dalam diriku.
“Ahh.. Mamaa mauu keluuaar.. Naakk..” teriakku mendekati orgasmeku yang pertama.
Serr.., ser.., air maniku muncrat keluar. Seakan tidak ingin
mengecewakan Mamanya, Banu membuka mulutnya lebar-lebar untuk menampung
muncratan air maniku. Beberapa semprotan sempat mengenai wajahnya.
Mulutnya menggembung seakan tidak muat menampung banyaknya air maniku
yang memang sudah tidak keluar selama beberapa hari. Aku mengira Banu
akan menelan air maniku, tetapi ternyata pikiranku salah.
Setelah yakin bahwa tempekku sudah tidak mengeluarkan mani lagi, Banu
mendekatkan kepalanya ke kepalaku. Aku masih belum tahu apa maksudnya.
Tangan kanan Banu memegang pipiku memintaku untuk membuka mulutku. Aku
dapat menebak apa maunya, dan entah mengapa aku mau saja membuka mulutku
lebar-lebar. Banu membuka mulutnya sedikit demi sedikit. Dan sedikit
demi sedikut pula, setetes demi setetes air maniku yang sudah ditampung
Banu di mulutnya menetes ke mulutku. Aku menerima tetesan demi tetesan.
Tak lama, Banu mendekatkan mulutnya dan menciumku dengan mulut yang
sedikit terbuka. Air mani yang sudah berpindah tempat ke mulutku
dipermainkannya. Lalu Banu membalik tubuhku sehingga kini aku berada di
atas tubuhnya sambil kedua mulut kami masih tetap menyatu. Dalam posisi
di atas Banu, mau tidak mau air maniku yang sudah berada di mulutku
kembali mengucur ke mulutnya karena mulut kami berdua membuka. Tak
menyia-nyiakannya, kali ini Banu langsung menelan semua air maniku yang
tadi kami buat mainan di mulut kami berdua. Ditelannya semua air mani
itu tanpa sedikitpun yang tersisa untukku.
“Aahh.. Segar sekali air mani Mama.. Enak Ma..,” kata Banu sambil tersenyum di sela daesah nafasnya yang masih tidak teratur.
“Kamu suka Nak? Mama senang kalau kamu menyukainya. Peju kamu juga enak kok,” kataku menimpali, sambil tersenyum kepadanya.
Tak berlama-lama, aku turun ke bagian selangkangannya. Aku pegang
kontolnya yang masih tegang seperti tiang bendera. Aku pegang kontol
Banu dengan tangan kananku. Tidak menunggu lama, aku oral lagi kontol
Banu. Banu kembali mendesah-desah mendapat perlakuan itu lagi. Aku
memajumundurkan mulutku yang sedang menghisap kontol anakku. Sepuluh
menit kemudian, aku minta Banu untuk berdiri dari sofa. Aku tidur
telentang di sofa menggantikan dirinya.
“Masukkan kontolmu sayang. Tempek Mama sudah pengen ngerasain kontol
gedemu,” pintaku kepada Banu sambl menyibakkan lubang vaginaku untuk
memudahkan penetrasi yang akan dilakukan Banu.
Banu memegang kontolnya dan bersiap-siap untuk mencobloskan ke tempekku.
Diusap-usapkannya ujung kontolnya di pintu masuk tempekku
dan.. Breess..
“Aahh..,” teriakku ketika kontol gede itu menembus temepekku.
Sleep.. Sleep.. Plok.., suara kocokan kontol banu di temepekku.
“Enaakk.. Yaangg.. Teruss.. Kontolmu gede.. Naak..” aku meracau tidak karuan.
Banu tidak berkata apa-apa. Hanya desahan-desahan yang semakin keras
yang keluar dari mulutnya. Keringat deras membasahi tubuhnya. Aku
pandangi wajahnya. Betapa tampannya anakku ini, dalam hati aku berpikir.
Aku menggoyangkan pantatku untuk mengimbangi permainan Banu. Aku
mengusap keringat yang membasahi wajahnya dengan kedua tanganku. Mungkin
ini adalah kasih sayang seorang mama.
Lima belas menit kemudian, aku meminta Banu untuk mencabut kontolnya
dari tempekku. Banu melakukannya walaupun dengan keraguan. Lalu aku
memintanya untuk tidur telentang di sofa. Setelah Banu tiduran, aku
mengangkangi selangkangannya. Aku pegang kontol Banu, lalu aku mencoba
untuk mengepaskan ke lobang tempekku. Setelah aku rasa tepat, aku
turunkan pantatku dan.., Bleess..
Kontol Banu kembali memasuki sarangnya. Aku menaikturunkan tubuhku
untuk mengocok kontol Banu. Kedua susuku bergoyang naik turun
seperti mau lepas. Aku pegang tangan Banu dan aku arahkan ke susuku.
Banu sudah mengerti apa yang aku mau. Sambil menggerakkan pantatnya
naik turun menyambut tempekku, kedua tangan Banu bergerak aktif
meremas-remas susuku. Hal ini semakin menambah rangsangan buatku
dan..
Seerr.. Seer.. Seerr.., aku mengalami orgasme yang kedua. Tetapi Banu
tampaknya tidak peduli dengan itu. Dia tetap saja menaikturunkan
pantatnya. Aku biarkan saja dia meski sebenarnya aku ingin istirahat.
“Ma, ganti posisi donk, Mama turun dulu,” kali ini Banu yang meminta untuk berganti posisi.
Aku lepaskan jepitan tempekku yang basah karena sudah orgasme. Banu berdiri dari sofa.
“Sekarang Mama berdiri menghadap sofa, lalu berpegangan ke sofa,” pinta Banu.
Aku yang masih tidak mengerti apa maksudnya mengikuti saja apa
maunya. Setelah aku berposisi menungging sambil berpegangan ke sofa,
Banu memasukkan kontolnya ke tempekku dari belakang.
“Aahhggh.. Hebatt.. Kamu naakk..”, aku menjerit lagi.
Kali ini dengan posisi yang belakangan aku ketahui bernama “Doggy
Style” kami berdua melanjutkan ‘olahraga’ seks kami. Dari belakang Banu
meremas-remas dan mengusap-usap pantatku. Ruangan ini dipenuhi dengan
suara-suara erotis yang menandakan dua insan sedang beradu kenikmatan.
Tak hanya meremas pantatku, dari belakang Banu juga meremas-remas kedua
susuku. Aku pun tidak mau kalah. Tempekku meremas-remas kontolnya
yang sedang berada di dalamnya. Pantatku pun tidak mau tinggal diam. Aku
memutar-mutar pantatku untuk menambah sensasi yang dirasakan oleh Banu.
Rupanya apa yang aku lakukan itu membuat pertahanannya runtuh juga. Aku
pun tidak bisa lagi menahan orgasmeku yang ketiga.
“Sayaangghh Mama mau keluaarr laggii..,” aku menjerit keras ketika aku
merasakan akan orgasme untuk yang ketiga kalinya. Seerr.. Seerr.. Aku
merasakan vaginaku basah oleh air maniku sendiri.
“Maa.. Aku juugaa mauu keluaarr..,” teriak Banu. Mendengar itu aku segera saja meminta Banu untuk mencabut kontolnya.
“Cabut kontolmu sayang.. Mama mau minum air pejuhmu lagi..,” aku memintanya.
Banu segera mencabut kontolnya. Aku segera saja berbalik dan
memasukkan kontolnya ke mulutku. Aku tidak peduli dengan air maniku yang
masih menempel di kontolnya. Toh, rasanya juga enak. Sepuluh menit aku
mengocok kontolnya dalam mulutku dan..
Croot.. Croot.. Croot.., sperma Banu menyemprot ke dalam rongga
mulutku. Tidak sebanyak yang pertama memang, tapi aku tidak peduli.
Semua sperma yang disemprotkan kontol Banu aku telan. Gurih dan wangi.
Aku semakin menyukai rasa sperma dari anak-anakku. Setelah kontolnya
tidak lagi mengeluarkan pejuh, aku jilati kontolnya untuk
membersihkannya.
Banu lalu duduk di sofa dengan nafas yang tidak karuan. Aku
memandangnya, dan dia pun memandangku. Aku tersenyum kepadanya, begitu
juga dia. Aku suruh dia mendekat. Aku peluk dia seperti seorang kekasih
yang lama tidak bertemu.
“Terima kasih Nak. Ma’af, Mama melakukan ini kepadamu. Kamu suka?” aku bertanya kepadanya.
“Banu bahagia sekali meskipun Banu tidak tahu mengapa Mama melakukan ini.
Tapi Banu tidak peduli. Banu sayang sama Mama,” jawab Banu sambil
tersenyum.
“Tapi, bolehkah Banu melakukan ini lagi sama Mama?” tanya anakku itu. Aku
tersenyum mendengar pertanyaannya. Toh, ini semua aku yang memulai.
“Tentu saja sayang. Kapanpun kamu mau, selama tidak ada orang,” jawabku sambil mengelus kepalanya.
Selama kedua saudaranya tidak ada di rumah, aku dan Banu terus
melakukan hubungan sedarah itu. Kami melakukannya di tempat tidur, di
dapur, di kamar mandi di mana saja asal memungkinkan. Aku pasti akan
menceritakan kelanjutan hubungan yang kami lakukan selama kedua
saudaranya tidak ada di rumah dalam tulisan selanjutnya.
Dan setelah kedua saudaranya pulang, ada satu kejutan besar yang aku
lakukan. Aku menceritakan kepada mereka bertiga bahwa aku sudah
bersebadan dengan ketiganya. Walau sangat terkejut mereka dapat
menerimanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar